Dalam masa kolonial Belanda maupun Jepang, orang nomor satu yang dicari adalah Sukarno. Laksana pucuk dicinta ulam tiba… Jepang yang merangsek kawasan Indonesia dari Pulau Sumatera, tidak terlalu sulit untuk menemukan tokoh pergerakan kemerdekaan kita. Saat Jepang mendarat tahun 1943, posisi Sukarno memang sedang berada di daerah buangan baru, di Bengkulu.
Alkisah, dalam satu pertemuan, disepakatilah bahwa Bung Karno membantu Jepang untuk perjuangan melawan Sekutu, dengan catatan, Jepang akan membantu Bung Karno memerdekakan bangsanya. “Deal” itu rupanya memiliki dampak ikutan yang memusingkan Bung Karno. Betapa tidak, bukan saja ia harus menentramkan rakyatnya untuk membantu Jepang demi menuju Indonesia merdeka, tetapi Bung Karno juga menerima permintaan-permintaan lain yang sangat mengusik hatinya.
Permintaan itu antara lain agar Bung Karno ikut memikirkan “nasib” bala tentara Nipon yang sudah sekian lama meninggalkan Tanah Airnya, yang sudah sekian lama tidak “bergaul” dengan istri-istrinya. Jika Bung Karno tidak memberi bantuan untuk mengatasi persoalan itu, Kolonel Fujiyama, Panglima Tentara ke-25, Angkatan Darat Kerajaan Jepang tidak menjamin keselamatan para gadis yang ada di sekitar markas-markas militer Jepang.
Bung Karno paham, suku Minangkabau sangat taat beragama. Para perempuannya dididik dan dibesarkan dengan sangat hati-hati. Maka, Bung Karno pun memperingatkan Fujiyama, “Kalau anak-buah tuan mencoba-coba berbuat sesuatu dengan anak-anak gadis kami, rakyat akan berontak. Tuan akan menghadapi pemberontakan besar di Sumatera.” Tapi di sisi lain, Bung Karno juga menyadari, kalau persoalan ini tidak dipecahkan, Bung Karno dan rakyat juga akan dihadapkan pada persoalan yang lebih besar lagi.
Di tengah kepusingannya, Bung Karno mendatangi seorang kiyai. “Menurut Islam,” ujar Bung Karno memulai pembicaraan, “laki-laki tidak boleh bercintaan dengan gadis, kalau dia tidak bermaksud mengawininya. Ini adalah perbuatan dosa.”
“Benar,” jawab kiai itu tegas.
Sejenak Bung Karno kesulitan melanjutkan kalimatnya. Maka, setelah hening sejenak, Bung Karno melanjutkan, “Mungkinkah aturan itu dikesampingkan dalam keadaan-keadaan tertentu?”
Kiai terperanjat dan menukas lugas, “Tidak. Tidak mungkin. Untuk Bung Karno sekalipun tidak mungkin!” protes orang alim itu dengan nada tinggi.
Pelan-pelan Bung Karno menguraikan rencananya. “Semata-mata sebagai tindakan darurat, demi nama baik anak-anak gadis kita dan demi nama baik negeri kita, saya bermaksud hendak menggunakan layanan dari para pelacur di daerah ini. Dengan demikian orang-orang Jepang itu dapat memuaskan birahinya, dan tidak akan menoleh untuk merusak anak gadis kita.”
Setelah mencerna rencana Bung Karno, sang kiai membalas, “Dalam keadaan yang demikian, sekalipun seseorang harus membunuh, perbuatannya tidak dianggp sebagai dosa.”
Aha! Cerah sudah hati dan pikiran Bung Karno. Ia pun segera mengumpulkan para pelacur yang ada di daerah itu. Ia menggelar rapat darurat. Ya…. Bung Karno rapat dengan para pelacur! “Saya tidak akan menyarankan saudara-saudara untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaanmu. Rencana ini sejalan dengan pkerjaan saudara-saudara sendiri….”
Seorang pelacur menyahut, “Saya dengan Jepang kaya-kaya dan royal dengan uang.”
“Benar,” jawab Bung Karno, “mereka juga punya jam tangan dan perhiasan lainnya.”
“Saya menganggap rencana ini saling menguntungkan dalam segala segi,” ujar seorang pelacur yang berperan sebagai juru bicara. “Tidak hanya kami akan menjadi patriot besar, tapi ini juga suatu perjanjian yang menguntungkan.”
Ringkas cerita, Bung Karno berhasil menghimpun 120 pelacur, kemudian membawanya ke tempat terpencil. Dibangunkannya kamp yang dipagar tinggi di sekelilingnya. Bung Karno pula yang membuatkan aturan, setiap prajurit diberi kartu dengan ketentuan hanya boleh mengunjungi tempat itu sekali dalam seminggu. Dalam setiap kunjungan, kartunya dilubangi.
Everybody happy dengan solusi Bung Karno. Meski begitu, di dalam hati Bung Karno tertawa geli… demi memikirkan kondisi di mana seorang pemimpin pergerakan kemerdekaan, harus melaksanakan tugas tak ubahnya seorang germo…
No comments:
Post a Comment