Seorang warga Empang menunjukkan benda cagar budaya Batu Dakon yang berada tepat di samping rumahnya, Gg.Raden Saleh, Kelurahan Empang, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, sejumlah benda cagar budaya di Kota Bogor tidak terawat dan memprihatinkan sehingga dikhawatirkan akan hilang atau punah tergerus pembangunan.
Sejumlah benda cagar budaya yang ada di Kota Bogor terbengkalai dan tidak terawat sehingga terancan hilang atau punah karena tergerus pembangunan yang kian marak. Padahal, Kota Bogor merupakan kota yang kaya akan prasasti bersejarah. Sejumlah benda cagar budaya yang tidak terurus dan kondisinya memprihatinkan berdasarkan pemantauan “PRLM”, Selasa (19/4) misalnya Batu Dakon di wilayah Empang, Prasasti Batu Tulis Jln. Batu Tulis, serta bangunan punden berundak di Kelurahan Pasir Jaya. Hampir seluruh benda cagar budaya ini berlokasi di tengah permukiman penduduk yang padat. Bahkan, keberadaannya seakan tergusur oleh perumahan. Selain itu, beberapa di antaranya berlokasi di tanah bukan milik Pemkot Bogor.
Salah seorang warga Gg. Raden Saleh, Kelurahan Empang, Kecamatan Bogor Selatan yang rumahnya dekat dengan benda cagar budaya Batu Dakon, Dani (30), petugas yang datang ke lokasi untuk mengecek kondisi benda cagar budaya sangat jarang. “Ada beberapa kali ke sini. Tapi hanya untuk memasang papan nama, sekitar tiga bulan yang lalu. Selain itu ada juga orang Pemkot Bogor yang datang, tapi jarang yang membersihkan lokasi cagar budaya,” ungkap Dani yang sering merawat cagar budaya Batu Dakon. Dikatakan Dani, beberapa waktu lalu terlontar keinginan Pemkot untuk membersihkan lokasi cagar budaya agar lebih layak. Namun, hingga saat ini hal itu belum terrealisasi. Beberapa kali, sejumlah orang dari beberapa daerah sering datang ke lokasi, bahkan ada pula yang sampai menginap. “Kurang tahu juga buat urusan apa. Mungkin bersemedi atau ngapain, yang jelas mereka meminta izin buat nginep di sini,” lanjut Dani. Menurut Dani, seandainya benda cagar budaya ini dirawat oleh Pemkot Bogor, maka kemungkinan tidak akan disalahgunakan oleh orang luar. Saat ini, benda cagar budaya ini sangat memprihatinkan. Batu jenis andesit dengan sembilan lubang (yang tersisa) seperti mainan dakon (congklak) ini terletak sangat mepet dengan rumah warga. Di sekitarnya banyak tanaman yang tidak terurus. Bahkan, sejumlah barang bekas juga diletakkan di sekitar lokasi cagar budaya sehingga dari luar tidak kelihatan jika di balik tembok tersebut ada peninggalan prasejarah. Berdasarkan sejumlah literatur, batu dakon ini merupakan peninggalan masa prasejarah sebagai media pada upacara adat masyarakat pada masa itu. Lokasinya yang berada persis di tengah permukiman penduduk dan berada di lahan milik PT KA juga kemungkinan menyulitkan pengunjung menemukan saksi sejarah ini. Hal ini membuat turis lokal terlebih asing banyak yang tidak mengetahui keberadaan cagar budaya ini sehingga tak sulit menarik perhatian wisatawan, selain kurang dipublikasikan. Setidaknya, pengunjung harus masuk ke dalam gang sempit berukuran 1,5 meter sejauh hampir 300 meter. Lokasinya juga tertutup oleh bangunan rumah yang ada di sekitar lokasi cagar budaya. “Jangankan turis asing, wisatawan lokal mungkin tidak tahu ada Batu Dakon di daerah ini. Tempatnya tidak terawat dan kumuh. Terakhir ada orang yang datang untuk memasang plang, sekitar tiga bulan lalu. Setelah itu, tidak ada yang datang lagi,” lanjut Dani. Budayawan Kota Bogor, Eman Sulaeman sempat mengatakan jika Kota Bogor termasuk kota yang kaya akan situs purbakala. Seharusnya, situs purbakala ini menjadi aset sekaligus saksi sejarah Bogor.Hanya saja, sampai saat ini upaya penyelamatan benda cagar budaya belum terlihat dilakukan oleh Pemkot Bogor. Berdasarkan hasil survey bersama dengan tim arkeolog di sejumlah wilayah, ditemukan sekitar 17 situs purbakala di Kota Bogor. Hanya saja, hampir semuanya dalam kondisi yang memprihatinkan.Dikhawatirkan, benda cagar budaya ini akan hilang akibat maraknya pembangunan. Anggota Komisi D, Yasir A Liputo mengatakan penyelamatan atau pelestarian situs belum menjadi prioritas. Dengan demikian, anggaran untuk situs-situs dan hal-hal yang berkaitan dengan pariwisata dan budaya masih sangat minim. “Anggarannya sangat sedikit, sekitar Rp 60 juta pada 2010. Dengan anggaran itu, dinas tak akan bisa bekerja maksimal. Seharusnya anggaran untuk budaya dan pariwisata seperti ini minimal di atas Rp 200 sampai Rp 300 juta,” katanya.
No comments:
Post a Comment